Selasa, 19 April 2011

KEPUTUSAN TERBESAR LYA

Cerpen ke-8 lanjutan dari "DILEMA"


            “Pak Yogi!” kuberanikan diri untuk memanggilnya.
            Pak Yogi berhenti dari langkahnya begitu mendengar aku memanggilnya. Ku gerakkan kakiku mendekatinya. Entah apa yang aku lakukan ini. Hati kecilku pun tak mengerti. Yang pasti aku ingin Pak Yogi tahu, bahwa Kang Anta bukan siapa-siapa aku. Aku memang menyukainya tapi kami tidak punya ikatan apa-apa.
            “Pak…se..malam..” aku berusaha menyusun kata-kata untuk menjelaskan.
            “Saya tidak meminta penjelasan bukan?” tiba-tiba Pak Yogi memotong kata-kataku.
            Deg..!!!
            Entah mengapa, ucapan Pak Yogi itu membuat hatiku merasa tidak nyaman. Aduuuuuh..Lya ngapain juga kamu mau jelasin…
            “Iya, ta..tapi…” aku mulai salah tingkah.
            “Lya…” Pak Yogi memanggil namaku dengan tegas. “Saya memang ingin mengenalmu lebih dalam. Menjadikanmu sebagai pasangan hidup.”
            Deg..!!! kurasakan jantungku berdegup kencang mendengar kata-kata itu.
            “Tapi keinginan saya itu bukanlah suatu keharusan atau paksaan.” Pak Yogi meneruskan ucapannya. “Kalo memang Lya sudah punya pilihan, saya tidak akan memaksakan kehendak.”
            “Bukan seperti itu Pak...semalam itu, bukan…” aku berusaha menjelaskan. Tapi Pak Yogi selalu saja memotong ucapanku.
            “Bukankah Lya meminta waktu untuk berpikir?”
            Aku memang meminta waktu untuk berpikir saat Pak Yogi menyampaikan niatnya pertama kali di rumah makan sea food tempo hari. Saat itu, aku meminta waktu sekitar satu minggu. Aku tau satu minggu mungkin terlalu singkat untuk memikirkan keputusan yang berlaku untuk seumur hidup. Tapi aku pikir, lebih cepat akan lebih baik. Aku tak mau terlalu lama menggantung perasaan orang lain.
            “He em.” Ku anggukan kepala.
            “Waktunya masih ada beberapa hari lagi. Manfaatkanlah. Saya tidak akan pernah dan tidak mau untuk memaksakan Lya.” Pak Yogi mengucapkannya dengan sangat tenang. Kemudian dia meminta diri dan kembali berjalan menuju pintu.
            Aku hanya terdiam. Menatap punggung tegap itu pergi meninggalkanku dengan perasaan bersalah.
            “Lya…ada apa dengan kalian? Nampaknya ada sesuatu. Saya lihat Pak Yogi berbeda pada mu hari ini.” tanya Pak Tama. “Biasanya dia sangat antusias melihat kehadiranmu.”
            “Oh..gak apa-apa, Pak. Biasa aja kok. Mungkin pandangan bapak aja yang salah. Hehe…” aku berusaha menutupinya dari Pak Tama.
            “Beneran neh?”
            “Iya dong…hehe” sebisa mungkin aku menunjukkan muka ceria.
###
            “Kami tidak memaksa. Hanya mengungkapkan pendapat semata.” ucap ibu.
            Hari ini Ibu, Bapak dan A Iki sengaja menyempatkan waktu datang ke Bandung untuk menemuiku. Memberikan pendapat mereka untuk keputusan yang akan aku ambil nanti. Sepulangnya dari kantor aku langsung mengajak mereka makan di Rumah Bebek. Tempat makan favorit kami jika berkumpul di Bandung.
            “Yogi itu orangnya baik, sopan dan punya niat yang tulus. Itu yang a liat.” A Iki mengomentari sambil melahap bebek goreng pesanannya.
            “Dan yang pasti. Dia bisa mengayomimu.” tambah Bapak.
            “Atau kamu punya pilihan lain?” tiba-tiba ibu bertanya.
            “Oh..ah..emm..enggak, Bu.” aku bingung.
Apa aku harus cerita tentang Kang Anta?? Ah..tapi kan ini hanya sekedar perasaanku saja…mungkin hanya sekedar kagum atau perasaan sementara bukan untuk dipertimbangkan..
“Ah yakin tuh??” A Iki ragu dengan jawabanku.
“Naon sih A Iki…”
“Nu dipika reuseup mah aya atuh meureun??”
(Yang disukai tuh mungkin ada kan??)
“Hehe..” aku hanya tersenyum.
“Tuh nyak..ceuk aa ge naon..”
(Tuh kan.. kata aa juga apa..)
“Siapa, neng?” tanya Ibu.
“Bukan siapa-siapa, Pak. Cuman suka biasa aja kok. Temennya Teh Cit, temen kostan neng.”
“Ooh..kalo dia nya suka??” tanya Bapak.
“Tah eta…henteu..!! Hehe”
(Nah itu…tidak!! Hehe)
“Hahaha..kasian deh lo!!” A Iki meledekku.
Langsung ku cubit pinggangnya.
“Teu teurang maksudnya..” belaku.
(Gak tau maksudnya..)
“Kalo kata ibu ya neng. Kalo perasaan perempuan itu bisa ngikutin. Ngeliat laki-laki ngasih perhatian, kasih sayang…ah udahlah bisa luluh. Tapi kalo laki-laki beda lagi. Kalo dia memang tidak suka. Susah buat suka, walaupun perempuannya sudah baik juga.”
“Ah..kata siapa, Bu?” kata A Iki.
“Eh..apanan kata ibu barusan. Ini mah kata ibu we sebagai perempuan.”
“Hahaha…” kami tertawa bersama.
“Oya neng, kita mau mampir ke rumahnya Yogi.” ucap Bapak.
“Hah??”
“Yogi bilang waktu itu, kalo ke Bandung mampir kerumahnya. Silaturahmi gitu.”
“Ayo neng, biar tau keluarganya. Jangan Yogi aja yang ngenal neng lewat keluarga teh. Neng juga dong.” ucap A Iki.
###
Bu Sari sudah berdiri di depan pintu rumah bersiap menyambut kedatangan kami. Rumah tingkat dengan interior minimalis. Halaman depannya luas, cukup untuk parkir tiga mobil. Pekarangan depan ditanami dengan tanaman hias dan bunga berwarna warni. Disana juga ada kolam ikan kecil dengan pancuran air berbentuk ikan yang terbuat dari batu. Rumah yang cukup mewah bagiku. Dilihat dari rumahnya saja aku tahu keluarga Pak Yogi adalah keluarga berada. Sedangkan keluargaku adalah keluarga sederhana. Hatiku langsung menciut melihatnya.
“Assalamu’alaikum Ibu, Bapak..” sambut Bu Sari “Selamat datang di gubuk kami” sambil menyalami kami semua.
Gubuk??? semewah ini??
“Wa’alaikumsalam..aduh maaf ibu, kami mengganggu datang kemari..” ucap Ibu berbasa-basi.
“Oh henteu atuh, saya senang sekali ibu dan bapak bisa bersilaturahmi ke rumah kami. Ayo silahkan masuk..”
Begitu kami memasuki rumah. Bisa aku lihat betapa besarnya rumah itu.
Pak Yogi kok tak terlihat menyambut kami…kemana dia??
“Kebetulan Yogi sedang ada keperluan mendesak keluar yang tidak bisa ditinggal, jadi tidak bisa ikut menyambut. Mohon dimaafkan.” Bu Sari seolah bisa mendengar pertanyaanku dalam hati.
“Oh gitu…iya gak apa-apa..” Bapak menanggapi.
“Echaaaa sini...tolong sekalian bawain air nya ya..” Bu Sari memanggil Echa setengah berteriak.
Tiba-tiba A Iki mencubit lenganku. Memberikan isyarat agar aku bergabung kebelakang membuat air dengan Echa.
“Hmmm Bu Sari…boleh Lya bantu Echa..”
“Oh iya boleh…lewat sini” Bu Sari menunjukkan jalan ke dapur.
Aku berjalan mengikuti arah yang ditunjukkan Bu Sari.
“Eh Mbak Lya…” Echa tersenyum begitu melihatku. Dia sedang membuat sirup untuk kami.  “Apa kabar, Mbak?” dia menyodorkan tangannya.
“Alhamdulillah…bisa saya bantu, Cha..” aku sedikit canggung.
“Oh udah Mbak, gak apa-apa. Biar Echa aja. Mungkin Mbak bisa tolong ambilin bakinya aja disitu.” Echa menunjuk ke arah rak.
Segera ku ambilkan baki. Sambil melihat Echa membuat sirup, aku berbasa basi yang pada intinya menanyakan tentang Pak Yogi. Ternyata orang tua Pak Yogi bercerai. Ayahnya pergi meninggalkan mereka untuk seorang perempuan. Saat itu, Pak Yogi masih duduk di bangku kelas 4 SD, sedangkan Echa masih balita. Sejak saat itu, Bu Sari yang bekerja membanting tulang untuk menghidupi mereka. Bu Sari membuka butik kecil-kecilan yang sekarang sudah berkembang dan banyak cabang. Bu Sari selalu mendidik mereka untuk mandiri. Walaupun mereka punya pembantu tapi mereka tak pernah mengandalkannya. Mereka melakukan semuanya sendiri. Pembantu mereka hanya bertugas untuk mencuci dan menyetrika. Kebersihan dan kerapihan rumah adalah tugas bersama.
“Oya Mbak, Bang Yogi itu banyak temen ceweknya lho.”
Pastinya…toh Pak Yogi itu memiliki fisik yang disukai banyak wanita. Lantas kenapa dia memilih aku??
“Temen cewek itu bukan berarti pacar lho, Mbak!. Memang banyak sih yang suka sama abang. Tapi tak satu pun yang abang pilih. Menurut abang mereka itu perempuan aneh. Banyak uang tapi kok beli pakaian kaya kurang bahan gitu. Haha…” Echa menceritakan sambil tertawa.
“Ada juga sih temen-temennya yang pakai kerudung. Tapi itu cuman topeng doang!.” tambahnya lagi.
“Lho topeng gimana??”
“Menurut Bang Yogi, kerudung mereka itu hanya formalitas. Cuman buat pergaulan ajah. Toh dibelakang mereka tidak memakai kerudung itu. Clubbing lah, minumlah, pacaran diluar bataslah, de el el deh pokoknya, Mbak. Makanya Bang Yogi gak tertarik. Setelah ketemu Mbak Lya, baru deh ketertarikannya itu muncul. Hehe…”
Aku mulai salah tingkah.
“Ah Echa ini bisa ajah…”
“Lho beneran deh, Mbak!. Itu yang Bang Yogi bilang sama aku. Bahkan Bang Yogi nyuruh aku buat belajar dari Mbak lho.”
“Belajar apa?”
“Belajar banyak…termasuk niat untuk memakai kerudung..hehe…”
Echa memang tidak memakai kerudung. Tapi pakaiannya selalu sopan dan tertutup. Dia tidak suka memakai pakaian minim.
“Oya Mbak, setelah mengenal keluarga Mbak Lya. Aku liat Bang Yogi jadi beda. Jadi lebih ceria. Abang seolah menemukan sosok keluarga yang sempurna yang tidak kami miliki. Apalagi sosok bapaknya, Mbak. Makanya aku jadi gak sabar ingin mengenal mereka juga. Hehe..”
Aku hanya tersenyum mendengarnya. Ternyata sosok Pak Yogi dalamnya tak setegap fisiknya. Ada kekosongan yang dia rindukan di kehidupannya. Sebuah keluarga yang utuh.
“Eh..Mbak?”
“Yah..”
“Laki-laki yang semalem itu, siapa?” tiba-tiba Echa menanyakan Kang Anta.
“Oh itu, temen. Dia minta Lya anter buat cari buku. Itu aja.”
Echa hanya mengangguk-anggukan kepalanya mendengarkan penjelasanku.
“Cha..hmm…Pak Yogi semalem…” aku ingin menanyakan pendapat Pak Yogi tentang Kang Anta dan aku. Belum selesai aku menyelesaikan kalimatku, Echa sudah menjawabnya. Seolah tahu maksud dan tujuanku.
“Abang gak bilang apa-apa sih, Mbak. Tapi selama di mobil perjalanan pulang. Bang Yogi lebih banyak diam. Aku ajak ngobrol aja dicuekin. Aku gak pernah melihat abang diam begitu sebelumnya.”
Diam?? Mungkin Pak Yogi memang marah…
“Mbak Lya…panggil abangnya jangan pake bapak gitu dong. Kesannya Bang Yogi itu tua banget deh. Hahaha…jadi kaya bapak dan anak. Hahaha…”
“Oh..ah..eh..hehe…beliau kan klien kantor. Jadi Lya kebiasaan manggilnya Pak Yogi.”
“Iya aku tau. Tapi kan diluar kantor bisa panggil tanpa ‘pak’. Mas Yogi misalnya.”
Mas Yogi??? aduuuh lucu banget kalo aku panggil gitu..
Silaturahmi itu terjalin dengan baik. Bu Sari dan Echa sangat antusias mengobrol dengan keluargaku seperti dengan bagian dari keluarga mereka sendiri. Sebelum kami pulang, Echa sempat bilang “Sekarang aku mengerti kenapa Bang Yogi senang begitu mengenal keluarga Mbak Lya. Aku juga ngerasa gitu kok. Keluarga yang hangat.”
###
            Tok..tok..tok..
            Seseorang mengetuk pintu kamar kostku. Pasti Teh Cit deh..
            “Masuk aja....gak dikunci kok..”
            “Ly…” benar saja dugaanku, Teh Cit memanggilku begitu membuka pintu kamar.
            “Iya Teh, kenapa?”
            “Udah makan?? Ini aku beli nasi goreng dua.”
            “Wah..makasih Teh, kebetulan Lya belum makan neh..” segera kubuka nasi goreng itu.
            “Eh..sabtu besok Tyo ngajak nonton. Ikut yuk!. Ada Dian dan Anta juga kok. Biar rame kaya kemarin itu lho.”
            “Wah sabtu ini Lya ada janji, Teh.” aku berusaha mencari alasan.
Aku ingin menghindar untuk bertemu dengan Kang Anta. Aku hanya tak ingin membuat perasaanku tambah berkembang padanya. Karena sekarang aku sedang dalam tahap proses dengan Pak Yogi. Setidaknya sampai aku sudah menentukan keputusan yang tepat.
            “Hmmm…sayang banget yah…tapi kalo nanti kita nonton lagi, kamu ikut lagi yah?”
            Aku hanya tersenyum.
###
            Huuuffftthh…
            Aku menarik nafasku pelan-pelan. Hari ini adalah hari aku memberikan jawaban pada Pak Yogi. Setelah meminta pendapat-Nya, insya Allah aku yakin dengan keputusan yang akan aku ambil sekarang.
            Ku lihat Pak Yogi yang datang dengan Echa sudah duduk menungguku. Kami sepakat untuk bertemu disini satu minggu kemudian, di rumah makan sea food yang sama saat Pak Yogi mengutarakan niatnya padaku.
            “Assalamu’alaykum..” sapaku.
            “Wa’alaykumsalam…” jawab mereka.
            Ku lihat tatapan Pak Yogi masih dingin padaku. Mungkin dia masih marah. Mukanya begitu tenang dan tanpa ekspresi apa-apa begitu melihat kedatanganku.
            “Apa kabar?” aku berusaha berbasa-basi.
            “Baik.” Pak Yogi menjawab dengan singkat.
            Jutek banget, Pak!
            “Aku juga baik. Mbak Lya gimana?” hanya Echa yang menjawab dengan ramah.
            “Alhamdulillah…”
            Setelah cukup lama berbincang dengan Echa untuk berbasa-basi. Akhirnya kuberanikan diri untuk memulai berbincang tentang keputusan yang serius.
            “Hmmm…Pak, sebelumnya Lya ucapkan terima kasih karena mau mengenal Lya. Terima kasih sudah bersilaturahmi dengan keluarga Lya. Terima kasih atas niat mulia Bapak untuk mengajak Lya menunaikan sunnah Rasulullah. Terima kasih sudah memberikan Lya kesempatan waktu untuk mempertimbangkan semuanya. Terima kasih karena Bapak tidak memaksakan kehendaknya pada Lya..”
            Aku lihat Pak Yogi begitu menyimak apa yang aku sampaikan. Tapi aku tetap tidak bisa menebak yang dia rasakan. Karena mukanya masih tetap tanpa ekspresi dan tenang. Hanya Echa yang aku lihat sedikit panik.
            “Tapi…” aku mulai untuk melanjutkan ucapanku. Echa sudah mulai menunjukkan raut kekecewaan diwajahnya begitu mendengar aku mengucap kata ‘tapi’.
            “Tapi…maaf..” aku terdiam dan menunduk.
            Huuuffftthh…ku tarik nafaskku. Aku berusaha mengumpulkan kekuatan untuk melanjutkan ucapanku. Bismillah…
            “Maaf karena Lya gak bisa…”
            Echa menelan ludah begitu mendengar kata terakhirku. Pak Yogi masih terlihat tenang. Seolah bisa menebak jika aku akan berkata ‘maaf’.
                        Aku lihat Echa mengangkat mulutnya seperti akan menyampaikan komentarnya padaku. Tapi Pak Yogi langsung menyelahnya.
            “Iya gak apa-apa. Saya terima.” ucapnya dingin sambil membuka buku menu dan bersiap untuk memanggil pelayan.
            “Maaf karena mungkin nanti Lya gak bisa lagi memanggil ‘Pak Yogi’….”
            Seketika mata Pak Yogi dan Echa langsung melihat ke arah ku. Pak Yogi dan Echa nampak bingung dengan kalimat yang aku ucapkan barusan. Hanya Echa yang berani menanyakan.
            “Maksudnya?”
            “Karena memanggil ‘Pak Yogi’ rasanya kurang enak untuk seorang pasangan.”
            “Pa..pasangan??? Ja..jadi Mbak Lya mau jadi pasangan Bang Yogi???”
            Aku tersenyum malu dan menunduk.
            “Horeeeeeeeee!!!! Abangku diterimaaa…!!!” Echa langsung berdiri dan berteriak girang.
            Orang-orang yang ada di sana langsung melihat ke meja kami. Aku makin menunduk karena malu melihatnya.
            Aduuuh..gak kenal..gak kenal..
            Aku lihat wajah Pak Yogi masih tanpa ekspresi dan tenang. Hanya sekarang ada senyuman tipis yang menghiasi bibirnya.
###
TO BE CONTINUE …. “



Tidak ada komentar:

Posting Komentar