Selasa, 19 April 2011

KEPUTUSAN TERBESAR LYA

Cerpen ke-8 lanjutan dari "DILEMA"


            “Pak Yogi!” kuberanikan diri untuk memanggilnya.
            Pak Yogi berhenti dari langkahnya begitu mendengar aku memanggilnya. Ku gerakkan kakiku mendekatinya. Entah apa yang aku lakukan ini. Hati kecilku pun tak mengerti. Yang pasti aku ingin Pak Yogi tahu, bahwa Kang Anta bukan siapa-siapa aku. Aku memang menyukainya tapi kami tidak punya ikatan apa-apa.
            “Pak…se..malam..” aku berusaha menyusun kata-kata untuk menjelaskan.
            “Saya tidak meminta penjelasan bukan?” tiba-tiba Pak Yogi memotong kata-kataku.
            Deg..!!!
            Entah mengapa, ucapan Pak Yogi itu membuat hatiku merasa tidak nyaman. Aduuuuuh..Lya ngapain juga kamu mau jelasin…
            “Iya, ta..tapi…” aku mulai salah tingkah.
            “Lya…” Pak Yogi memanggil namaku dengan tegas. “Saya memang ingin mengenalmu lebih dalam. Menjadikanmu sebagai pasangan hidup.”
            Deg..!!! kurasakan jantungku berdegup kencang mendengar kata-kata itu.
            “Tapi keinginan saya itu bukanlah suatu keharusan atau paksaan.” Pak Yogi meneruskan ucapannya. “Kalo memang Lya sudah punya pilihan, saya tidak akan memaksakan kehendak.”
            “Bukan seperti itu Pak...semalam itu, bukan…” aku berusaha menjelaskan. Tapi Pak Yogi selalu saja memotong ucapanku.
            “Bukankah Lya meminta waktu untuk berpikir?”
            Aku memang meminta waktu untuk berpikir saat Pak Yogi menyampaikan niatnya pertama kali di rumah makan sea food tempo hari. Saat itu, aku meminta waktu sekitar satu minggu. Aku tau satu minggu mungkin terlalu singkat untuk memikirkan keputusan yang berlaku untuk seumur hidup. Tapi aku pikir, lebih cepat akan lebih baik. Aku tak mau terlalu lama menggantung perasaan orang lain.
            “He em.” Ku anggukan kepala.
            “Waktunya masih ada beberapa hari lagi. Manfaatkanlah. Saya tidak akan pernah dan tidak mau untuk memaksakan Lya.” Pak Yogi mengucapkannya dengan sangat tenang. Kemudian dia meminta diri dan kembali berjalan menuju pintu.
            Aku hanya terdiam. Menatap punggung tegap itu pergi meninggalkanku dengan perasaan bersalah.
            “Lya…ada apa dengan kalian? Nampaknya ada sesuatu. Saya lihat Pak Yogi berbeda pada mu hari ini.” tanya Pak Tama. “Biasanya dia sangat antusias melihat kehadiranmu.”
            “Oh..gak apa-apa, Pak. Biasa aja kok. Mungkin pandangan bapak aja yang salah. Hehe…” aku berusaha menutupinya dari Pak Tama.
            “Beneran neh?”
            “Iya dong…hehe” sebisa mungkin aku menunjukkan muka ceria.
###
            “Kami tidak memaksa. Hanya mengungkapkan pendapat semata.” ucap ibu.
            Hari ini Ibu, Bapak dan A Iki sengaja menyempatkan waktu datang ke Bandung untuk menemuiku. Memberikan pendapat mereka untuk keputusan yang akan aku ambil nanti. Sepulangnya dari kantor aku langsung mengajak mereka makan di Rumah Bebek. Tempat makan favorit kami jika berkumpul di Bandung.
            “Yogi itu orangnya baik, sopan dan punya niat yang tulus. Itu yang a liat.” A Iki mengomentari sambil melahap bebek goreng pesanannya.
            “Dan yang pasti. Dia bisa mengayomimu.” tambah Bapak.
            “Atau kamu punya pilihan lain?” tiba-tiba ibu bertanya.
            “Oh..ah..emm..enggak, Bu.” aku bingung.
Apa aku harus cerita tentang Kang Anta?? Ah..tapi kan ini hanya sekedar perasaanku saja…mungkin hanya sekedar kagum atau perasaan sementara bukan untuk dipertimbangkan..
“Ah yakin tuh??” A Iki ragu dengan jawabanku.
“Naon sih A Iki…”
“Nu dipika reuseup mah aya atuh meureun??”
(Yang disukai tuh mungkin ada kan??)
“Hehe..” aku hanya tersenyum.
“Tuh nyak..ceuk aa ge naon..”
(Tuh kan.. kata aa juga apa..)
“Siapa, neng?” tanya Ibu.
“Bukan siapa-siapa, Pak. Cuman suka biasa aja kok. Temennya Teh Cit, temen kostan neng.”
“Ooh..kalo dia nya suka??” tanya Bapak.
“Tah eta…henteu..!! Hehe”
(Nah itu…tidak!! Hehe)
“Hahaha..kasian deh lo!!” A Iki meledekku.
Langsung ku cubit pinggangnya.
“Teu teurang maksudnya..” belaku.
(Gak tau maksudnya..)
“Kalo kata ibu ya neng. Kalo perasaan perempuan itu bisa ngikutin. Ngeliat laki-laki ngasih perhatian, kasih sayang…ah udahlah bisa luluh. Tapi kalo laki-laki beda lagi. Kalo dia memang tidak suka. Susah buat suka, walaupun perempuannya sudah baik juga.”
“Ah..kata siapa, Bu?” kata A Iki.
“Eh..apanan kata ibu barusan. Ini mah kata ibu we sebagai perempuan.”
“Hahaha…” kami tertawa bersama.
“Oya neng, kita mau mampir ke rumahnya Yogi.” ucap Bapak.
“Hah??”
“Yogi bilang waktu itu, kalo ke Bandung mampir kerumahnya. Silaturahmi gitu.”
“Ayo neng, biar tau keluarganya. Jangan Yogi aja yang ngenal neng lewat keluarga teh. Neng juga dong.” ucap A Iki.
###
Bu Sari sudah berdiri di depan pintu rumah bersiap menyambut kedatangan kami. Rumah tingkat dengan interior minimalis. Halaman depannya luas, cukup untuk parkir tiga mobil. Pekarangan depan ditanami dengan tanaman hias dan bunga berwarna warni. Disana juga ada kolam ikan kecil dengan pancuran air berbentuk ikan yang terbuat dari batu. Rumah yang cukup mewah bagiku. Dilihat dari rumahnya saja aku tahu keluarga Pak Yogi adalah keluarga berada. Sedangkan keluargaku adalah keluarga sederhana. Hatiku langsung menciut melihatnya.
“Assalamu’alaikum Ibu, Bapak..” sambut Bu Sari “Selamat datang di gubuk kami” sambil menyalami kami semua.
Gubuk??? semewah ini??
“Wa’alaikumsalam..aduh maaf ibu, kami mengganggu datang kemari..” ucap Ibu berbasa-basi.
“Oh henteu atuh, saya senang sekali ibu dan bapak bisa bersilaturahmi ke rumah kami. Ayo silahkan masuk..”
Begitu kami memasuki rumah. Bisa aku lihat betapa besarnya rumah itu.
Pak Yogi kok tak terlihat menyambut kami…kemana dia??
“Kebetulan Yogi sedang ada keperluan mendesak keluar yang tidak bisa ditinggal, jadi tidak bisa ikut menyambut. Mohon dimaafkan.” Bu Sari seolah bisa mendengar pertanyaanku dalam hati.
“Oh gitu…iya gak apa-apa..” Bapak menanggapi.
“Echaaaa sini...tolong sekalian bawain air nya ya..” Bu Sari memanggil Echa setengah berteriak.
Tiba-tiba A Iki mencubit lenganku. Memberikan isyarat agar aku bergabung kebelakang membuat air dengan Echa.
“Hmmm Bu Sari…boleh Lya bantu Echa..”
“Oh iya boleh…lewat sini” Bu Sari menunjukkan jalan ke dapur.
Aku berjalan mengikuti arah yang ditunjukkan Bu Sari.
“Eh Mbak Lya…” Echa tersenyum begitu melihatku. Dia sedang membuat sirup untuk kami.  “Apa kabar, Mbak?” dia menyodorkan tangannya.
“Alhamdulillah…bisa saya bantu, Cha..” aku sedikit canggung.
“Oh udah Mbak, gak apa-apa. Biar Echa aja. Mungkin Mbak bisa tolong ambilin bakinya aja disitu.” Echa menunjuk ke arah rak.
Segera ku ambilkan baki. Sambil melihat Echa membuat sirup, aku berbasa basi yang pada intinya menanyakan tentang Pak Yogi. Ternyata orang tua Pak Yogi bercerai. Ayahnya pergi meninggalkan mereka untuk seorang perempuan. Saat itu, Pak Yogi masih duduk di bangku kelas 4 SD, sedangkan Echa masih balita. Sejak saat itu, Bu Sari yang bekerja membanting tulang untuk menghidupi mereka. Bu Sari membuka butik kecil-kecilan yang sekarang sudah berkembang dan banyak cabang. Bu Sari selalu mendidik mereka untuk mandiri. Walaupun mereka punya pembantu tapi mereka tak pernah mengandalkannya. Mereka melakukan semuanya sendiri. Pembantu mereka hanya bertugas untuk mencuci dan menyetrika. Kebersihan dan kerapihan rumah adalah tugas bersama.
“Oya Mbak, Bang Yogi itu banyak temen ceweknya lho.”
Pastinya…toh Pak Yogi itu memiliki fisik yang disukai banyak wanita. Lantas kenapa dia memilih aku??
“Temen cewek itu bukan berarti pacar lho, Mbak!. Memang banyak sih yang suka sama abang. Tapi tak satu pun yang abang pilih. Menurut abang mereka itu perempuan aneh. Banyak uang tapi kok beli pakaian kaya kurang bahan gitu. Haha…” Echa menceritakan sambil tertawa.
“Ada juga sih temen-temennya yang pakai kerudung. Tapi itu cuman topeng doang!.” tambahnya lagi.
“Lho topeng gimana??”
“Menurut Bang Yogi, kerudung mereka itu hanya formalitas. Cuman buat pergaulan ajah. Toh dibelakang mereka tidak memakai kerudung itu. Clubbing lah, minumlah, pacaran diluar bataslah, de el el deh pokoknya, Mbak. Makanya Bang Yogi gak tertarik. Setelah ketemu Mbak Lya, baru deh ketertarikannya itu muncul. Hehe…”
Aku mulai salah tingkah.
“Ah Echa ini bisa ajah…”
“Lho beneran deh, Mbak!. Itu yang Bang Yogi bilang sama aku. Bahkan Bang Yogi nyuruh aku buat belajar dari Mbak lho.”
“Belajar apa?”
“Belajar banyak…termasuk niat untuk memakai kerudung..hehe…”
Echa memang tidak memakai kerudung. Tapi pakaiannya selalu sopan dan tertutup. Dia tidak suka memakai pakaian minim.
“Oya Mbak, setelah mengenal keluarga Mbak Lya. Aku liat Bang Yogi jadi beda. Jadi lebih ceria. Abang seolah menemukan sosok keluarga yang sempurna yang tidak kami miliki. Apalagi sosok bapaknya, Mbak. Makanya aku jadi gak sabar ingin mengenal mereka juga. Hehe..”
Aku hanya tersenyum mendengarnya. Ternyata sosok Pak Yogi dalamnya tak setegap fisiknya. Ada kekosongan yang dia rindukan di kehidupannya. Sebuah keluarga yang utuh.
“Eh..Mbak?”
“Yah..”
“Laki-laki yang semalem itu, siapa?” tiba-tiba Echa menanyakan Kang Anta.
“Oh itu, temen. Dia minta Lya anter buat cari buku. Itu aja.”
Echa hanya mengangguk-anggukan kepalanya mendengarkan penjelasanku.
“Cha..hmm…Pak Yogi semalem…” aku ingin menanyakan pendapat Pak Yogi tentang Kang Anta dan aku. Belum selesai aku menyelesaikan kalimatku, Echa sudah menjawabnya. Seolah tahu maksud dan tujuanku.
“Abang gak bilang apa-apa sih, Mbak. Tapi selama di mobil perjalanan pulang. Bang Yogi lebih banyak diam. Aku ajak ngobrol aja dicuekin. Aku gak pernah melihat abang diam begitu sebelumnya.”
Diam?? Mungkin Pak Yogi memang marah…
“Mbak Lya…panggil abangnya jangan pake bapak gitu dong. Kesannya Bang Yogi itu tua banget deh. Hahaha…jadi kaya bapak dan anak. Hahaha…”
“Oh..ah..eh..hehe…beliau kan klien kantor. Jadi Lya kebiasaan manggilnya Pak Yogi.”
“Iya aku tau. Tapi kan diluar kantor bisa panggil tanpa ‘pak’. Mas Yogi misalnya.”
Mas Yogi??? aduuuh lucu banget kalo aku panggil gitu..
Silaturahmi itu terjalin dengan baik. Bu Sari dan Echa sangat antusias mengobrol dengan keluargaku seperti dengan bagian dari keluarga mereka sendiri. Sebelum kami pulang, Echa sempat bilang “Sekarang aku mengerti kenapa Bang Yogi senang begitu mengenal keluarga Mbak Lya. Aku juga ngerasa gitu kok. Keluarga yang hangat.”
###
            Tok..tok..tok..
            Seseorang mengetuk pintu kamar kostku. Pasti Teh Cit deh..
            “Masuk aja....gak dikunci kok..”
            “Ly…” benar saja dugaanku, Teh Cit memanggilku begitu membuka pintu kamar.
            “Iya Teh, kenapa?”
            “Udah makan?? Ini aku beli nasi goreng dua.”
            “Wah..makasih Teh, kebetulan Lya belum makan neh..” segera kubuka nasi goreng itu.
            “Eh..sabtu besok Tyo ngajak nonton. Ikut yuk!. Ada Dian dan Anta juga kok. Biar rame kaya kemarin itu lho.”
            “Wah sabtu ini Lya ada janji, Teh.” aku berusaha mencari alasan.
Aku ingin menghindar untuk bertemu dengan Kang Anta. Aku hanya tak ingin membuat perasaanku tambah berkembang padanya. Karena sekarang aku sedang dalam tahap proses dengan Pak Yogi. Setidaknya sampai aku sudah menentukan keputusan yang tepat.
            “Hmmm…sayang banget yah…tapi kalo nanti kita nonton lagi, kamu ikut lagi yah?”
            Aku hanya tersenyum.
###
            Huuuffftthh…
            Aku menarik nafasku pelan-pelan. Hari ini adalah hari aku memberikan jawaban pada Pak Yogi. Setelah meminta pendapat-Nya, insya Allah aku yakin dengan keputusan yang akan aku ambil sekarang.
            Ku lihat Pak Yogi yang datang dengan Echa sudah duduk menungguku. Kami sepakat untuk bertemu disini satu minggu kemudian, di rumah makan sea food yang sama saat Pak Yogi mengutarakan niatnya padaku.
            “Assalamu’alaykum..” sapaku.
            “Wa’alaykumsalam…” jawab mereka.
            Ku lihat tatapan Pak Yogi masih dingin padaku. Mungkin dia masih marah. Mukanya begitu tenang dan tanpa ekspresi apa-apa begitu melihat kedatanganku.
            “Apa kabar?” aku berusaha berbasa-basi.
            “Baik.” Pak Yogi menjawab dengan singkat.
            Jutek banget, Pak!
            “Aku juga baik. Mbak Lya gimana?” hanya Echa yang menjawab dengan ramah.
            “Alhamdulillah…”
            Setelah cukup lama berbincang dengan Echa untuk berbasa-basi. Akhirnya kuberanikan diri untuk memulai berbincang tentang keputusan yang serius.
            “Hmmm…Pak, sebelumnya Lya ucapkan terima kasih karena mau mengenal Lya. Terima kasih sudah bersilaturahmi dengan keluarga Lya. Terima kasih atas niat mulia Bapak untuk mengajak Lya menunaikan sunnah Rasulullah. Terima kasih sudah memberikan Lya kesempatan waktu untuk mempertimbangkan semuanya. Terima kasih karena Bapak tidak memaksakan kehendaknya pada Lya..”
            Aku lihat Pak Yogi begitu menyimak apa yang aku sampaikan. Tapi aku tetap tidak bisa menebak yang dia rasakan. Karena mukanya masih tetap tanpa ekspresi dan tenang. Hanya Echa yang aku lihat sedikit panik.
            “Tapi…” aku mulai untuk melanjutkan ucapanku. Echa sudah mulai menunjukkan raut kekecewaan diwajahnya begitu mendengar aku mengucap kata ‘tapi’.
            “Tapi…maaf..” aku terdiam dan menunduk.
            Huuuffftthh…ku tarik nafaskku. Aku berusaha mengumpulkan kekuatan untuk melanjutkan ucapanku. Bismillah…
            “Maaf karena Lya gak bisa…”
            Echa menelan ludah begitu mendengar kata terakhirku. Pak Yogi masih terlihat tenang. Seolah bisa menebak jika aku akan berkata ‘maaf’.
                        Aku lihat Echa mengangkat mulutnya seperti akan menyampaikan komentarnya padaku. Tapi Pak Yogi langsung menyelahnya.
            “Iya gak apa-apa. Saya terima.” ucapnya dingin sambil membuka buku menu dan bersiap untuk memanggil pelayan.
            “Maaf karena mungkin nanti Lya gak bisa lagi memanggil ‘Pak Yogi’….”
            Seketika mata Pak Yogi dan Echa langsung melihat ke arah ku. Pak Yogi dan Echa nampak bingung dengan kalimat yang aku ucapkan barusan. Hanya Echa yang berani menanyakan.
            “Maksudnya?”
            “Karena memanggil ‘Pak Yogi’ rasanya kurang enak untuk seorang pasangan.”
            “Pa..pasangan??? Ja..jadi Mbak Lya mau jadi pasangan Bang Yogi???”
            Aku tersenyum malu dan menunduk.
            “Horeeeeeeeee!!!! Abangku diterimaaa…!!!” Echa langsung berdiri dan berteriak girang.
            Orang-orang yang ada di sana langsung melihat ke meja kami. Aku makin menunduk karena malu melihatnya.
            Aduuuh..gak kenal..gak kenal..
            Aku lihat wajah Pak Yogi masih tanpa ekspresi dan tenang. Hanya sekarang ada senyuman tipis yang menghiasi bibirnya.
###
TO BE CONTINUE …. “



Senin, 28 Maret 2011

DILEMA


CERPEN KE-7 LANJUTAN SIAPAKAH DIA??!
“DILEMA”
Ku tatap wajahku di depan kaca. Kulihat bola mataku yang hitam, tak salah memang alasan ayah memberiku nama Shalya yang artinya gadis bermata hitam. Aku  melihat wajahku dikaca tapi pikiranku tak disana. Pikiranku terbang kembali ke saat dua jam yang lalu. Saat dimana aku berada di rumah makan dengan Bu Sari dan Pak Yogi yang menyampaikan niatnya yang sangat mengejutkanku. Aku benar-benar tidak menyangka kalau orang yang selama ini membuatku penasaran itu adalah Pak Yogi, klienku sendiri. Orang yang selama ini tanpa aku ketahui sudah mencari tahu tentang aku langsung dari keluargaku dengan menemui mereka di Tasik dan memintaku langsung pada ayahku.
Aku benar-benar tidak mengira kalau Pak Yogi suka memperhatikanku sampai-sampai menanyakan tentang aku pada Pak Tama bosku. Aku juga tak menyangka kalau Pak Yogi akan nekat mendatangi keluargaku tanpa sepengetahuanku ketika Pak Tama memberikan alamat rumahku. Ah...aku masih sangat terkejut dengan kenyataan ini.
###
Hari ini aku hanya diam di kantor, tak ada jadwal kunjungan klien untukku. Beberapa lembar kertas diatas mejaku yang disimpan Ary belum aku sentuh, entah apa isinya. Hari ini aku tak konsen untuk bekerja sebelum aku menemui Pak Tama. Ya, hari ini aku ingin menemui Pak Tama dan menanyakan tentang niat Pak Yogi yang sudah lama beliau tahu.
“Pagi Pak...”
Tiba-tiba aku mendengar suara Ary diluar, itu berarti Pak Tama sudah datang. Segera aku keluar ruangan.
“Pagi Pak Tama...” sapaku.
“Pagi Lya...” jawab Pak Tama sambil tersenyum.
“Hari ini kamu ada jadwal klien?”
“Gak ada pak..”
Pak Tama kembali tersenyum dan berjalan kearah ruangannya.
“Pak Tama...”
“Iya?” Pak Tama berhenti berjalan dan menoleh kearahku
“Ah..emmm...emmm..”
“Kenapa Ly?”
“Emmm...emmm....” aku bingung bagaimana menyampaikan niatku untuk bertanya tentang Pak Yogi.
Pak Tama tersenyum lebar melihatku seolah bisa menebak maksud dan tujuanku. “Ikut saya keruangan” ucapnya.
Aku langsung berjalan mengikuti Pak Tama dari belakang menuju ruangannya.
“Ayo duduk....” ucap Pak Tama sesampainya diruangannya.
“Iya pak, makasih.”
“Kenapa neh Ly?” Pak Tama memulai pembicaraan
“Emmm...anu pak...” aku bingung harus memulai dari mana
“Anu apa?”
“Ah..eh...emmm...”
“Hahahahah” tiba tiba Pak Tama tertawa keras. Aku langsung kaget melihatnya.
“Lho kok ketawa sih pak?”
“Hahahahh...kamu tuh lucu banget seh kalo mukanya udah salting gituh..mau ngomong soal Pak Yogi aja kok susah”
“Lho??? Kok bapak tau?”
“Hahahahah....gak usah sampe merah gitu kale mukanya non...”
“Hehehe...” aku tersipu malu
“Ya tau dong...kemarin sore Pak Yogi telepon saya, bilang kalo beliau sudah menyampaikan niatnya langsung sama kamu.”
“Bapak kok gak bilang seh pak?”
“Gak bilang apa? Kan barusan bilang....”
“Bukan itu, maksud Lya kenapa bapak gak biang soal niat Pak Yogi selama ini sama Lya pak? Hmm...pantas saja bapak suka meledek ledek Lya dengan Pak Yogi kalo sedang meeting tentang mie kocok si jago...”
“Haha...gak juga kok”
“Maksudnya?”
“Maksud saya, ketika saya pertama meledek kamu dengan Pak Yogi, saya juga belum tahu tentang niat Pak Yogi itu. Saya baru tahu setelah kurang lebih satu bulan kamu memegang proyek mie kocok si jago. Saat itu saya telepon Pak Yogi menanyakan perkembangan usahanya sekalian saya mau tanya tentang kepuasan service yang diberikan kita pada beliau. Kalo memang beliau kurang nyaman kan bisa kita perbaiki secepatnya.”
“Terus?”
“Terus...ya gitu deeeh...haha”
“Ah bapak ini....lanjutin dong”
“Beliau bilang tidak ada masalah dengan cara kita bekerja sama ataupun jasa konsultasi yang sudah kita berikan, Pak Yogi cukup puas dengan cara kerja kamu dalam memberikan solusi yang ada diusahanya. Naah...tiba-tiba Pak Yogi bertanya tentang kamu secara pribadi bukan secara kinerja.”
“Maksudnya?”
“Maksudnya gini Ly, tiba-tiba saja beliau bertanya kamu itu orangnya gimana, asli mana, sudah menikah apa belum de el el deh. Hehe...”
Aku semakin penasaran dengan cerita Pak Tama.
“Terus bapak jawab apa, pak?” tak sabar aku mendengar kelanjutan cerita Pak Tama.
“Ciee...penasaran neh....”
“Ah...mmmm...enggak pak, bisa saja...”
“Alaaah...pake ngeles lagi tuh...”
“Heu...” kugaruk kepalaku yang tidak terasa gatal itu.
“Saya ceritakan kamu apa adanya....simpel, easy going, tapi kadang moody dan manja. Haha..”
Aku cemberut melihat Pak Tama yang tertawa itu.
“Naah...saya juga gak lupa bilang kalo kamu suka cemberut kaya gitu, hahahahah!” Pak Tama tertawa semakin keras.
Aku pun semakin cemberut melihatnya.
“Dengar Ly, menurut saya dia orang yang baik dan memang punya niat baik sama kamu. Buktinya dia mau datang jauh-jauh ke rumah kamu untuk mengenal kamu dan keluargamu begitu saya bilang kamu tidak suka pacaran dan tipe orang yang serius jika akan menjalin hubungan. Kamu sudah saya anggap seperti keluarga sendiri Ly, jadi saya tidak akan mungkin mendukung jika memang bukan orang baik dan serius. Pak Yogi ini saya kira tidak demikin, karena itu saya dukung dia untuk mendekatimu.”
Aku terdiam.
“Semua keputusan ada ditanganmu, jangan lupa mintalah petunjuk-Nya untuk keputusan ini. Saya kira kamu juga perlu mencari tahu tentang dia dan keluarganya terlebih dahulu sebelum kamu mengambil keputusan. Jangan sampai keputusan yang kamu ambil hanya karena desakan emosi semata.”
Aku tersenyum, “makasih banyak Pak Tama...Lya masih bingung dengan keputusan yang akan  diambil.”
###
Hari ini pekerjaan tidak terlalu padat, jadi aku bisa pulang lebih cepat dari biasanya. Baru saja aku keluar dari pintu kantor, dan berjalan beberapa langkah mendekati jalan untuk menyebrang. Tiba-tiba ada sebuah sepeda motor yang mendekatiku sambil memijit klaksonnya dengan keras.
Tidiiiiiiiiiiiiiiiiiittt…..
Tak bisa dihindari, motor itu semakin dekat dan…
“AAAAAWWWWWW!!!” aku menjerit dengan mata tertutup takut.
“Hahahaha….” Tiba-tiba aku mendengar suara seorang laki-laki tertawa didepanku.
“Hey, gak kena juga!”
Ku buka mata pelan-pelan. Aku melihat roda motor itu sudah sangat dekat dengan kakiku, lalu kulihat wajah sang pengendara, langsung kupasang wajah cemberut.
“Hahaha…pissss” dia tertawa sambil mengangkat tangan kanannya dan melipat tiga jarinya, sehingga hanya dua jari yang tersisa, telunjuk dan jari tengah yang membentuk huruf V.
“Gak lucu deh!” ucapku.
“Iya maaf, jail. Hehe…”
“Huuuuuuuu….”
“Mau pulang, Ly?”
“Iya neh, kebetulan hari ini Lya lagi gak banyak kerjaan, jadi bisa pulang jam segini neh. Nah..akang sendiri mau kemana?”
“Aku mau cari buku neh.”
“Ooh…”
“Mau langsung pulang atau mau gimana?”
“Pulang” jawabku singkat.
“Gada acara gitu?”
Ku gelengkan kepala tanda tak ada.
“Kalo gitu, temenin aku yukz?” tiba-tiba Kang Anta mengajakku.
“Hah???” aku tak bisa menahan rasa kagetku. “ta…tapi…”
“Ta…tapi apa??” sela Kang Anta. “tadi kan katanya gada acara?”
Aduuuuuuh…rupanya tadi dia memancing, gumamku dalam hati.
“Ayo naik!” ajaknya sambil memberikanku sebuah helm half face.
###

Tak lama kami pun sampai disebuah toko buku terkemuka. Aku hanya mengikuti Kang Anta dari belakang. Entah apa buku yang dia cari.
“Nyari buku apa, Kang?”
“Tentang manajemen, bisa tolong bantu cari?”
“Waduh Lya gak paham deh manajemen yang kaya gimana neh maksudnya. Nanti yang ada Lya malah salah ambil buku lagi. Hehe..”
Kang Anta tersenyum melihatku. Senyumnya yang khas, manis!
“Pokoknya setiap buku yang ada kata ‘manajemen’ Lya bawain aja yah…”
“Bener neh..?”
“He em..” Kang Anta menganggukan kepala.
Akhirnya kami berpencar, aku berusaha mencari buku-buku manajemen yang dimaksud. Walaupun dalam hati aku sedikit ragu dan bingung. Maklum aku sama sekali tidak mengerti bidang manajemen. Kucoba mengambil beberapa buku yang judulnya menggunakan kata ‘manajemen’ seperti Manajemen Bisnis, Kiat-kiat Manajemen yang Baik dsb.
“Neh Kang..” ku sodorkan buku-buku yang sudah kupisahkan.
“Hmm…” Kang Anta mengambilnya dan melihat-melihat. “Makasih, Ly!”
“Sama-sama.”
Ku lirik buku-buku di rak yang dekat dengan aku berdiri. Ada sebuah buku yang berjudul Manajemen Rumah Tangga. Aha!
“Kalo yang ini gimana?” kusodorkan buku itu. Hehe…aku tertawa dalam hati.
Kang Anta melihat judul buku yang kusodorkan. Kemudian dia melihat wajahku, menatap mataku.
“Nampaknya buku itu bagus untuk kita.” ucap Kang Anta datar tanpa nada dan ekspresi dari wajahnya.
Segera ku palingkan mata dari tatapan itu. Tanganku segera menyimpan buku itu kembali pada tempatnya semula. Tiba-tiba saja aku merasa salah tingkah. Aku juga merasakan degupan jantung yang begitu kencang.  Kita???? tanyaku dalam hati.
###
            “Ada yang mau kamu beli, Ly?” Kang Anta bertanya sebelum menuju kasir.
            “Oh gak ada Kang, makasih.”
“Yakin? Biar sekalian neh..”
“Yakin.”
            “Oke, aku bayar dulu yah.”
            Aku hanya mengangguk dan tersenyum.
            Sambil menunggu, aku melihat beberapa buku baru yang terpajang di atas meja ditengah-tengah ruangan. Sesekali aku melihat sekeliling ruangan, mencoba menikmati interior ruangan toko itu yang di desain nyaman. Setidaknya begitu bagiku. Tiba-tiba aku melihat sosok laki-laki dari jauh yang sedang melihat-lihat beberapa buku. Dari belakang, nampaknya aku mengenal sosok itu. Ku amati seksama. Ketika laki-laki itu menoleh kesamping, barulah aku yakin mengenalnya.
            “Pak Yogi?? Sedang apa ya disini…?”
            “Pastinya lagi cari bukulah, masa jualan mie kocok!”
            Kedua sisi hatiku berbicara.
            “Lya..” tiba-tiba suara Kang Anta mengagetkanku.
            “Aduuuh..gimana kalo Pak Yogi liat neh, aku bareng Kang Anta. Bisa-bisa beliau berpikir yang macem-macem lagi.”
            Aku kembali melihat ke arah Pak Yogi. Aku harap beliau tak melihat kehadiranku. Tapi ternyata Pak Yogi pun tak sendiri. Ada seorang wanita yang berdiri disampingnya.
            “Siapa perempuan itu? jangan-jangan…???”
            “Ah jangan suudzon dulu, Ly. Siapa tau itu temennya. Sama kaya kamu dan Kang Anta. Mungkin perempuan itu datang kesini sama kaya kamu yang menemani Kang Anta mencari buku.”  sisi positif hatiku menenangkan.
            “Ah gak deh. Masa iyah temenan tapi deketan gitu deh, Ly. Coba liat!. Jarak mereka berdiri deket banget. Kamu sama Kang Anta kan gak gitu. Pake megang pundak segala lagi tuh perempuannya” sisi negatif hatiku mencoba membuatku panas.
             “Hellooo…kok bengong??” Kang Anta mengibaskan tangannya kedepan mataku.
            “Hah..eh..iya Kang..”
“Liatin siapa sih, kok sampe bengong gitu?” Kang Anta mencoba mencari seseorang kearah aku tadi melihat.
            “Eh, gak ada kok. Udah Kang? Pulang yukz!”
            “Udah. Gimana kalo kita salat dulu?” ucap Kang Anta sambil melihat jam tangan dilengan kanannya.
            “Eh udah magrib ya?” aku pun melirik jam tanganku. “Gak kerasa…”
            “Iyah. Kita salat di mushola bawah aja.”
            “He em.”
            Kami pun berjalan menuju mushola. Sepanjang jalan hatiku terus beradu, mencoba mencari jawaban dari apa yang tadi aku lihat.
            Setelah salat, aku menunggu Kang Anta sambil duduk dekat dengan penitipan sepatu dan sandal. Ku lihat sekilas ke mushola ikhwan, Kang Anta masih salat. Salatku selesai lebih dulu dari Kang Anta.
            “Lya???” tiba-tiba aku mendengar sebuah suara laki-laki memanggilku.
            Jangan bilang ini suara Pak Yogi…gumamku dalam hati. Aku pun menoleh ke arah sumber suara. Ooww!!!
            “Pak..Yo..gi..” aku sedikit gugup dan panik.
            “Kamu beli buku juga, Ly?”
            “Ah..em..”
            “Ada temennya ya, Ly?.” tiba-tiba Kang Anta sudah ada disampingku.
            Aduuuuuh…gimana ini
            Aku melihat wajah Pak Yogi berubah kaget.
            “Saya kira kamu sendiri.” Pak Yogi menatapku.
            “Kenalkan saya Anta.” Kang Anta menyodorkan tangan.
            “Yogi.” Pak Yogi menyambut tangan Kang Anta.
            Anda juga dateng berdua kan pak…ucapku dalam hati. Jangan kira aku tak melihatnya tadi..
            “Udah selesai solatnya, Bang?” seorang perempuan mendekati Pak Yogi.
            “Iya dek, kenalin ini temen abang.”
Abang??? Adek??? Ja..jadi..perempuan ini adiknya??
“Echa.” perempuan itu menyodorkan tangannya kearahku dan kang Anta.
“Anta.”
“Lya.”
Begitu mendengar namaku, Echa langsung menatap mataku dan menoleh kearah Pak Yogi. Seolah mengisyaratkan ‘ini toh, Lya yang abangku maksud’.
“Kalian mau kemana sekarang?” tanya Pak Yogi.
Aku hanya diam, menunduk. Entah apa yang harus aku lakukan disituasi seperti ini. Aku bingung bercampur dengan gugup.
“Gimana Ly? Mau langsung pulang atau…” Kang Anta melihat kearahku.
“Kita mau makan, gimana kalo kalian gabung?” Echa memotong.
“Hmm…” aku bingung.
“Boleh..” tiba-tiba Kang Anta memberikan jawaban yang semakin membuatku panik. “Iya kan, Ly? Kang Anta seolah ingin meyakinkanku.
“He..” aku hanya memberikan senyuman yang dipaksakan. Entah enak atau tidak dilihat.
Kami pun menuju tempat makan yang letaknya tak jauh dari toko buku itu berada. Tempat makan itu terdiri dari dua lantai. Kami menuju lantai atas. Echa memilih tempat duduk yang dekat dengan jendela, agar kami bisa melihat pemandangan malam kota Bandung. Kang Anta menggeserkan kursi untukku duduk. Sedangkan Pak Yogi menggeserkan kursi untuk Echa. Aku tau, saat itu Pak Yogi melihat kearah kami.
“Silahkan Bu, pak, mau pesan apa?” seorang pelayan wanita memberikan beberapa buku menu pada kami.
“Kalo udah, nanti kami panggil aja deh, Mbak.” ucap Echa.
Sang pelayan pun tersenyum dan meninggalkan kami.
Aku membuka-buka buku menu itu. Bukan untuk memilih makanan, tapi untuk mengurangi kegugupanku. Saat seperti ini rasanya aku tak bisa memilih. Apalagi aku duduk berhadapan dengan Pak Yogi. Ya Allah…tolonglah aku…
“Mau pesan apa neh, Mas? Mbak?” Echa menanyakan makanan yang akan kami pesan setelah Echa menulis  makanan yang akan dia pesan.
“Ah..em…apa yah..” aku semakin kencang membuka-buka menu tanpa tau apa yang akan aku pilih. Kurasakan tanganku semakin gemetar.
“Nasi, udang asam manis.” Kang Anta memesan.
Echa segera menulisnya. “Mbak?” Kemudian menanyakan pesananku.
“Hmmm…” aku bingung.
“Mau disamakan atau…” Kang Anta menawarkan solusi.
“Lya alergi udang.” tiba-tiba Pak Yogi menyelah.
Aku melihat kearah Pak Yogi. Kok dia tau….gumamku dalam hati. Aku juga teringat saat kami makan bersama dengan Bu Sari dirumah makan sea food.
“Lya gak suka cumi, Ma.” Pak Yogi langsung bilang saat Bu Sari mencoba menawariku cumi-cumi. Aku langsung teringat kata-kata bapak dulu “Dia mencoba mengenalmu, lewat keluargamu.” Termasuk makananku kah?? Subhanallah..sedalam itukah dia mengenalku??
“Abang, nasi, ayam yakiniku.” Pak Yogi meminta Echa untuk menulis pesanannya. “Pesankan saja nasi dan ayam bakar untuk Lya.”
Ayam bakar?? dia tau aku suka ayam bakar..suka banget malah..
Kang Anta nampak heran menatap ke arah Pak Yogi.
            “Mbak…” Echa memanggil pelayan tadi untuk memberikan pesanan kami. “Gak pake lama ya, Mbak.” Echa memberikan kertas pesanan sambil tersenyum.
###
            Huuuufthhh…
            Aku bernafas lega sesampainya dikamar. Akhirnya makan malam bersama dadakan itu sudah berlalu juga. Tatapan Pak Yogi selalu saja membayangiku. Tatapan seolah kekecewaan, atau mungkin kemarahan?. Entahlah..yang pasti tatapan itu belum pernah aku lihat selama aku mengenalnya saat aku masih mengerjakan proyek Mie Kocok Si Jago. Apalagi saat kami berpisah. Aku pulang mengikuti Kang Anta ke tempat parkir motor sedangkan Pak Yogi dan Echa menuju parkir mobil. Tatapan Pak Yogi semakin aneh, dia langsung berjalan cepat menuju mobil tanpa mau menoleh ke arahku lagi.
###
            Pagi yang cerah ditambah menghirup udara sejuk dipagi hari membuat aku lupa kepanikan yang aku rasakan semalam. Hari ini ada beberapa klien yang harus Pak Doni dan aku follow up jadi aku harus semangat agar terlihat fresh didepan klien dan akhirnya dealing pun dapat berjalan lancar.
            Pak Doni nampaknya sudah datang, karena motornya sudah terpampang di tempat parkir kantor. Aku juga melihat mobil Pak Tama sudah ada disana. Tumben sekali jam segini beliau sudah ada dikantor. Aku melihat jam tangan silver di pergelangan kiriku, jarum panjang masih ada di angka sembilan masih ada lima belas menit lagi menuju pukul sembilan. Biasanya Pak Tama datang sekitar pukul sepuluh.
            Ketika aku memasuki kantor, aku melihat Pak Tama sedang mengobrol dengan seorang tamu di ruang penerimaan tamu. Hmmm..pagi-pagi gini rupanya beliau ada tamu..
            Tadinya aku akan langsung menuju tangga untuk keruanganku di lantai dua. Tapi tiba-tiba kakiku terhenti begitu melihat sosok tamu yang sedang ditemui Pak Tama. Pak Yogi!. Tak lama Pak Yogi nampak pamit dan keluar dari ruang tamu, diikuti oleh Pak Tama dari belakang. Aku mulai grogi. Belum juga grogiku karena kejadian semalam itu hilang kini aku sudah melihatnya lagi dikantor. Pak Yogi berjalan dengan tatapan lurus kedepan. Aku tau dia melihat kehadiranku tapi dia seolah tak ingin menghiraukannya.
            Aku mencoba membuat senyuman sewajarnya begitu Pak Yogi lewat tepat didepanku.
            “Pagi, Pak Yogi.” aku mencoba menyapanya.
            “Pagi.” jawabnya singkat tanpa ekspresi apa-apa. Tatapannya pun tetap lurus. Kakinya terus melangkah melewatiku.
            Ku lihat Pak Tama melihat ke arahku. Beliau tampak heran melihat respon Pak Yogi terhadapku. Aku bingung. Apa yang harus aku lakukan sekarang?

TO BE CONTINUE …Cerpen ke-8 .”Keputusan Terbesar Lya